Gadis Desa Pengantin Penganti Bab 88
Admin kembali lagi dengan Novel yang sangat seru,Novel ini menceritakan seorang gadis Desa yang bernama Khansa yang di anggap wanita sial di desa tersebut,Novel ini berjudul “ Gadis Desa Pengantin Penganti ”
Hahaha Admin ga akan lanjut nanti di bilang spioiler lagi kita akan lanjut ke kisah Khansa yang sangat menguras perasaan dan Novel ini mempunyai jalan cerita yang panjang dan seru langsung saja kita menuju TKP….😘😘🥰
BAB 88 : BAJAY
Ketika sampai di kediaman Isvara, gerimis datang mengundang angin. Khansa membuka pintu mobil lalu turun dari mobilnya, Khansa berdiri dengan tenang memandangi kediaman isvara, khansa terlihat cantik dibawah temaran cahaya lampu dan angin yang membuat gaun dan rambutnya sedikit melambai ketika angin meniup-niupnya.
Dari dalam mobil, Hansen dan Leon mengamati, "tutup matamu!" perintah Leon kepada Hansen.
"Kenapa?" tanya Hansen membantah.
"Jika kau tidak menutupnya, maka dalam beberapa hari tiket ke Afrika akan datang ke rumahmu!" ancam Leon.
Hansen pun langsung memejamkan matanya, dalam hati berkata jika pasti Leon tidak ingin pria lain menikmati keindahan dan kecantikan istri kecilnya itu.
Leon masih tidak berkedip menatapi istri kecilnya itu. Mungil, cerdas dan bernyali besar. Dalam hati Leon merasa jika Khansa benar-benar pantas mendampingi dirinya. Yang hampir menandingi kepintarannya dalam berstartegi.
"Kecil-kecil cabe rawit!" puji Leon.
"Siapa? Apakah itu julukan untuk kakak ipar?" tanya Hansen.
"Cabe rawit?" tanya Hansen lagi.
"Diam . . . atau . . ." belum sempat melanjutkan ancamannya, Hansen sudah menjawabnya lebih dulu.
"Atau kakak akan mengirm aku ke Afrika bukan?" ujarnya.
"Nah! Itu sudah tahu, jadi jangan berisik lagi," tukas Leon.
"Ya, ya diam ya diam saja, apa susahnya!" jawab kesal Hansen sambil bersedekap lalu menyenderkan tubuhnya ke kursi dengan posisi santai.
"Huh!" Hansen masih saja bergumam sedikit tidak terima. Namun, tetap patuh memejamkan kedua matanya.
Leon menghela napas ketika melihat Khansa mulai berjalan di koridor kediaman Isvara lalu masuk ke dalam sana. Pikiran leon terbang kemana-mana, melihat sepertinya istri kecilnya itu sangat menikmati bermain di luar tanpa dirinya.
"Apa dia merindukanku?" tanyanya dalam hati.
"Kak! Apa aku sudah boleh membuka mataku?" tanya Hansen.
Leon menoleh kepada Hansen, melihar betapa patuhnya Hansen kepadanya, Leon pun menyeringai tertawa, "Bukalah," ujarnya.
"Akhirnya," ujar Hansen membuka mata sambil membetulkan posisi duduknya.
"Apakah kita sudah akan pulang?" tanya Hansen.
"Kakak ipar pasti akan tidur di sini bukan? Di rumahnya," ujar Hansen.
"Jika kakak iparmu tidur di sini, maka kita juga akan tidur di sini," jawab Leon.
"Apa? Di mobil kecil ini, kita akan tidur di mobil kecil ini?" tanya Hansen dengan tidak percaya.
"Apa kau keberatan!?" tanya Leon dengan nada mengintimidasi.
"Oh! Tentu tidak, ini sepertinya akan sangat mengasyikan tidur di mobil seukuran bajay," gumam Hansen sambil terbatuk-batuk.
Di dalam kediaman Isvara, di kamar terlihat Maharani dan Fauzan masih terdengar berdebat.
Maharani masih tidak percaya kalau Fauzan akan minta cerai dengannya, "Apa ini, kau benar-benar ingin menceraikan aku!?"
"Ya," jawab ringan Fauzan.
Fauzan pun mengatakan alasan mengapa mau menceraikan Maharani itu semua adalah karena Maharani sudah merusak nama baiknya serta membuat keluarga Isvara hampir bangkrut.
Maharani sangat marah dan tidak terima alasan Fauzan, Maharani memandangi Fauzan dengan tatapan tidak percaya.
"Katakan sekali lagi!" ujar Maharani kepada Fauzan.
Fauzan pun semakin mengeraskan suaranya, "Perusahaan keluarga Isvara hancur di tanganmu, katakan jika sudah begini untuk apa aku mempertahankanmu!" hardik Fauzan.
"Apa katamu, karena aku!" tukas marah Maharani.
Maharani bangun dari ranjanngnya lalu menaikan nada suaranya ketika berbicara kepada Fauzan, "Apa selama ini kau tidak melihat pengorbananku di dalam membesarkan bisnis perusaahan dan keluarga Isvara!"
Fauzan pun langsung menyindir Maharani, "Pengorbanan katamu! Tidur dengan pria lain selain suamimu kau anggap itu sebuah pengorbanan!?"
"Dasar j*lang," hina Fauzan kepada Maharani.
Seketika saja air mata Maharani berjatuhan mendengar hinaan dari suaminya itu. Maharani menjelaskan dengan gusar, "bukankah dulu kau bilang tidak mempermasalahkan masa laluku?"
"Lalu sekarang mengapa mengungkit tentang hal ini, hah!" ujar Maharani dengan suara gemetaran karena marah dan menahan rasa sakit di tubuhnya.
Maharani berusaha menjelaskan, tapi Fauzan tidak peduli lagi, "Cukup! Jangan beralasan lagi kau melakukannya demi kelangsungan bisnis keluarga, kau melakukan itu karena egois, hanya karena ingin tetap menyandang status Nyonya Isvara."
"Kau melakukannya karena tidak ingin hidup miskin," tukas Fauzan lagi.
Maharani tertawa, lalu menangis dan kembali tertawa seperti hampir gila saja, Maharani tahu kalau Fauzan selalu mencintai Stephanie, ibu kandung Khansa.
"Habis manis sepah dibuang, kau menceraikan aku karena melihat aku sudah tidak bermanfaat lagi untukmu bukan? Dan jangan kau pikir aku tidak tahu, jika selama ini kau masih saja mencintai Stephanie."
"Diam! Jangan sebut namanya dengan mulut kotormu itu, kau sama sekali tidak pantas menyebut namanya!" tukas marah Fauzan.
"Mengapa aku tidak boleh menyebut namanya!" jawab marah Maharani lagi.
"Karena kau sangat murahan, dan dia tidak. Dia terlalu bersih untuk bisa kau sebut namanya, dan kau benar-benar tidak pantas menyebut namanya," jelas Fauzan lagi.
"Tidak ada gunanya lagi berbicara denganmu, nanti tanda tangani saja surat perceraian kita."
Fauzan memaksa Maharani menyetujui perceraian dan lalu keluar. Jihan datang menghampiri dan memohon pada Fauzan agar membawa Maharani ke dokter.
"Ayah! Ibu terluka parah! Ayo kita bawa ke rumah sakit!" pinta Jihan.
Mengetahui jika Jihan 11-12 dengan Maharani maka Fauzan sekalian memarahi Jihan dengan habis-habisan.
"Lihatlah bagaimanana ibumu memanjakanmu, sehingga menjadi bodoh seperti ini!" tukas Fauzan.
"Pantas saja Tuan Muda Ugraha meninggalkanmu!" cibir Fauzan menghina Jihan.
"Benar-benar tidak berguna!" ujar marah Fauzan lagi dengan bertubi-tubi.
"Ayah mana bisa begini! Jangan marah, aku mohon Ayah bawa ibu ke rumah sakit!" pinta jihan lagi.
"Biarkan saja ibumu mati! Jangan ganggu aku lagi!" tukas Fauzan seraya menghempaskan tangan Jihan yang sedang menariknya.
Jihan pun akhirnya memilih segera masuk ke kamar Maharani. Fauzan ingin pergi dan saat ini melihat Khansa yang berjalan dengan anggun dan lemah lembut di koridor. Khansa terlihat ramping menggenakan gaun yang terlihat sangat pas di tubuhnya.
Fauzan melihat mata Khansa yang terlihat meneduhkan, walaupun memakai cadar namun tetap saja cadar itu tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Ekspresi Fauzan terlihat sedikit sentimental.
Akhirnya Fauzan berbalik dan pergi, cahaya lampu di punggungnya menyiratkan kerinduan dan rasa terluka.
Di dalam kamar Maharani, Jihan duduk di sisi ranjang ibunya, Jihan menangis mengadu kepada maharani tentang perkataan kasar Fauzan tadi ketika memarahinya.
"Bu! Apakah ayah akan menceraikan ibu?" tanya Jihan dengan suara tercekat.
"Bagaimana Ayah bisa begitu kejam kepada kita, lalu kita harus apa Bu?" tanya Jihan lagi.
Dalam hati Maharani bertekad, dia tidak akan pernah bercerai dengan Fauzan, dia tidak akan meninggalkan keluarga isvara, dirinya tidak akan menjadi sampah yang dengan gampang bisa dibuang.
"Tidak! Tidak akan, aku dan ayahmu tidak akan pernah bercerai," jawab tegas Maharani.
Klik ini untuk lanjut ke Bab Berikutnya
Bersambung
Novel ini merupakan Novel yang panjang dan mempunyai cerita yang sangat bangus dan seru untuk menemani anda di kala santai.ikuti kisah selanjutnya yah.
Posting Komentar untuk "Gadis Desa Pengantin Penganti Bab 88"