Gadis Desa Pengantin Penganti Bab 117

 Admin kembali lagi dengan Novel yang sangat seru,Novel ini menceritakan seorang gadis Desa yang bernama Khansa yang di anggap wanita sial di desa tersebut,Novel ini berjudul “ Gadis Desa Pengantin Penganti ”


Hahaha Admin ga akan lanjut nanti di bilang spioiler lagi kita akan lanjut ke kisah Khansa yang sangat menguras perasaan dan Novel ini mempunyai jalan cerita yang panjang dan  seru langsung saja kita menuju TKP….😘😘🥰


BAB 117 : APA KALIAN AKRAB?


Ruang tamu kediaman Isvara menjadi berantakan karena pertengkaran sepasang suami istri itu. Para pelayan tidak berani melerai, mereka hanya terdiam di sudut. 


Yenny maju ke arah Fauzan, aku akan menghubungi Professor Lexa. Yenny teringat ketika Fauzan memberikan jurnal-jurnal medis yang ditulis oleh Stephanie, ibunya Khansa. Professor Lexa langsung datang mencarinya, dan ingin membeli jurnal itu dengan harga berapa pun. Merasa jika jurnal itu begitu penting dan pada saat itu Yenny enggan melepasnya. Dirinya lebih memilih menggunakannya sendiri, dan benar saja ilmu medisnya berkembang dengan pesat karrna jurnal-jurnal yang ditulis oleh Stephanie. 


"Ayah, saat ini aku merasa lelah. Aku akan ke atas untuk beristirahat," ujar Yenny. 


Maharani menarik tangan Yenny, "Nak" tapi, Yenny malah mengehempaskan tangan Maharani. 


"Aku lelah!" jawab ketusnya.


Jika keluarga Isvara tidak bisa tidur dengan nyenyak, maka sebaliknya dengan Khansa dan Leon. Dalam pelukan Khansa, kualitas tidur Leon semakin membaik. 


Selain memberikan obat berupa pil ajaib racikan Khansa, dalam beberapa hari ini juga Khansa memberika terapi akupuntur jarum emas. 


Jarum yang teksturnya lebih lembut dari jarum perak, tidak semua orang memiliki kemampuan seperti ini. Tapi, ini adalah bakat alami Khansa. 


Menjelang dini hari ponsel Khansa berdering. Khansa mengangkat perlahan tangan Leon yang sedang melingkar di pinggul rampingnya itu.


Khansa sedikit bergeser dan menjawab telepon dari pihak rumah sakit, "Baik aku akan segera ke Sana."


Bibi Fida telah sadar, Khansa mencium kening Leon, "Aku akan segera kembali," ujar Khansa. 


Taksi yang Khansa pesan pun datang, "Ke Rumah Sakit!" ujar Khansa kepada supir taksi. 


Sesampainya di rumah sakit, Khansa mempercepat langkahnya di koridor rumah sakit. Khansa membuka pintu kamar rawat inap Bibi Fida, Khansa melihat Bibi Fida tengah duduk bersandar di ranjangnya. 


"Bibi …" panggil Khansa dengan menangis. 


"Bibi …" Khansa langsung berhambur memeluk bibi Fida. 


"Nona kecilku," panggil bibi Fida


"Iya Bi … ini aku," jawab Khansa. 


"Nona kecil, apa kau ke sini sendirian? Kau harus bersembunyi!" ujar bibi Fida. 


"Bibi … ada apa?" tanya Khansa bingung. 


"Orang-orang itu pasti akan mengejarmu sekarang. Nona kecil kau harus bersembunyi!" pinta Bibi Fida. 


"Siapa? Bersembunyi dari siapa?" tanya heran Khansa. 


Bibi Fida malah menangis sejadi-jadinya, dokter datang dan menyuntikan obat penenang kepada bibi Fida. Khansa hanya bisa meliht bibi Fida dalam limbung.


"Nona, harap jangan terburu-buru, dia baru saja tersadar," ujar dokter mengingatkan. 


"Ah ya baik dokter, maafkan aku," ujar Khansa.


Khansa melihat jam di ponselnya, sudah hampir jam lima pagi. Berpikir jika Leon akan bangun, maka Khansa pun segera pulang dulu. 


Dalam perjalanan pulang Khansa melihat seorang nenek sedang berjalan terhuyung, Khansa meminta supir taksi untuk berhenti. Khansa menghampiri nenek tersebut, "Nek … apa kau sakit?"


Khansa melihat nenek itu mengeluarkan darah dari hidungnya, lalu Khansa segera mengeluarkan jarum emasnya dan mulai menusuk di bagian atas kepalanya.


Lambat laun darah dari hidung nenek itu pun terhenti. Nenek itu sedikit tersadar, "Terima kasih."


"Nek di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu," ujar Khansa. 


"Baik … antarkan Nenek ke rumah," ujar nenek itu. 


Khansa memapah nenek itu ke dalam taksi. Sementara itu di kamar utama, Leon meraba-raba sisi ranjangnya. Dirinya langsung saja terbangun karena tidak merasakan ada tubuh Khansa. 


"Kemana perginya?" ujar Leon panik. 


Leon mengambil ponselnya, lalu mulai melihat GPS ponsel Khansa yang sudah dia sinkronisasikan dengan ponselnya. Tanpa berganti pakaian Leon langsung saja menyambar kunci mobilnya dan pergi melaju ke arah Khansa. 


Taksi telah sampai di rumah nenek yang baru saja Khansa kenal itu. Dengan hati-hati Khansa memapah nenek itu untuk masuk ke dalam. 


"Nenek siapa namamu?" tanya sopan Khansa. 


"Kau bisa memanggilku Nenek Quin," jawabnya. 


"Dan kau siapa namamu?" balik tanya nenek Quin. 


"Nenek bisa memanggilku Khansa," jawabnya. 


Baru saja masuk ke dalam, Khansa lansung saja disambut oleh hardik marah seorang pria tinggi tegap, 'Hei! Kau siapa? Mengapa bisa bersama Nenekku?" tanya pria itu sembari menopang tubuh nenek Quin dari pegangan Khansa. 


Nenek Quin langsung menendang kaki cucunya itu, "Yang sopan!" bentak nenek Quin. 

"Khansa, jangan pedulikan bocah tengil ini," ujar nenek Quin.


Nenek Quin menepuk-nepuk sisi sofa di sebelahnya, "Duduklah di sini," ujar nenek Quin. 


"Terima kasih nenek, aku harus segera pulang," jawab Khansa. 


"Hei! Bocah tengil, antarkan malaikat penolongku pulang," perintah nenek Quin. 


"Ayo!" ajak Dafa, cucu nenek Quin. 


Khansa pun berjalan mengikuti Dafa, "Jika bukan karena nenek, malas aku mengantarmu. Hah! Yang benar saja memakai cadar? Apa kau wanita buruk rupa." 


Mendengarnya ingin sekali Khansa menancapkan jarum emasnya dan membuat pria yang bernama Dafa ini tak bergerak. 


Baru saja sampai di halaman depan, mobil mewah Leon perlahan terpakir di halaman rumah nenek Quin. Leon melihat Khansa, gadis itu berdiri di pantulan sinar matahari pagi, penampilannya semakin menakjubkan.  Leon terdiam sesaat, melihat Dafa dan Khansa berdiri saling bertatapan di bawah sinar cahaya kuning. Mereka berdua masih sangat muda, dari kejauhan terlihat seperti lukisan pasir yang sangat indah.


Leon keluar dari mobilnya, dan menghampiri Khansa. Tatapan Leon menjadi sedingin es, Leon menyelipkan satu tangan masuk ke dalam saku celananya, "Nyonya Sebastian." 


Suara Leon langsung terdengar jelas di telinga Khansa, "Mengapa dia ada di sini?" Pikirnya. 


Leon mengulurkan lengannya yang kuat, dan menarik tubuh Khansa ke sisinya lalu berbisik, "Sedang apa pagi-pagi sudah ada di sini? Siapa dia?" tanya Leon menunjuk kepada Dafa dengan matanya.


"Ah ini ... dia ..." Khansa sedikit bingung menjelaskannya. 


"Itu ... kami baru saja kenal hari ini, tadi aku mengantarkan nenek Quin yang sakit pulang ke rumahnya," jawab Khansa singkat.


Pinggang Khansa terasa sakit ketika Leon meremasnya, mata Leon terlihat agak memerah. Khansa tahu jika saat ini Leon sedang marah.


Dafa berdiri sambil memandangi keduanya, tadi dia melihat Leon meremas pinggul Khansa, Khansa melihat perubahan ekpresi pada kedua pria itu. 


'Ini suamiku ... kau tak perlu mengantarku," ujar Khansa. 


Mata Leon semakin memerah, mendengar jika ada pria lain yang akan mengantar Khansa. 


"Ayo kita pulang!" ajak Khansa kepada Leon.


Setelah itu Leon merangkul Khansa membawanya masuk ke mobil, Khansa menoleh ke belakang, merasa tak enak hati karena Leon baru saja menebar aura peperangan kepada Dafa. 


Leon mencengkram bagian belakang Khansa, dan membalikan wajah kecilnya. Kemudian masuk ke mobil dan Leon segera melajukan mobilnya itu. 


Leon melajukan mobilnya tanpa bicara sepatah kata pun, Khansa tahu jika Leon saat ini sedang marah. 


Khansa menoleh kepada Leon, lalu bertanya "Apakah kau marah?"


Leon menjawab, "Kalau sudah tahu mengapa bertanya?"


"Aku bisa menjelaskan tentang ini," jawab Khansa. 


Khansa pun menceritakan tentang bibi Fida yang baru saja sadar, lalu dalam perjalanan pulang bertemu dengan nenek Quin, dan Dafa adalah cucuk nenek Quin. 


"Kalian akrab?" tanya Leon. 


'Oh ya Tuhan, kami baru saja bertemu hari ini, bahkan aku baru tahu namanya baru saja," jelas Khansa. 


"Tidak bohong?" tanya Leon. 


Leon menekan setir mobilnya dengan tangan besarnya, lalu berbelok dengan tajam. Seketika saja mobil yang Leon kendarai melesat bagai anak panah.


Khansa merasa akan terlempar keluar, "Jangan menyetir terlalu cepat, berbahaya!"


Leon tidak melambat sama sekali, tetapi malah menekan pedal gasnya semakin dalam.


Khansa merasa mual dan pusing, "Jika kau tidak mendengarkan aku, maka aku akan marah. Aku tidak tahu apa yang membuatmu marah, kujelaskan sekali lagi, aku baru saja mengenal Dafa dan neneknya."


Khansa duduk dengan tegak, menolehkan wajahnya ke jendela lalu mengabaikan Leon.


Mobil mewah itu tiba-tiba menjadi sunyi, ini adalah pertengkaran serius mereka yang pertama. Sementara, Leon merasa bagaimana mungkin tidak marah jika melihat ada pria lain di sisi Khansa, meski tidak ada hubungan apa-apa. Tapi, sungguh pemandangan tadi sangat menusuk mata dan hati Leon. Dia tidak suka melihat Khansa bersama pria lain, sangat tidak suka.


Leon tidak dapat mengendalikan dirinya, Leon mengeluarkan keringat dingin, selama ini jika dalam keadaan tidak kambuh maka dia bisa mengendalikan dirinya. Leon melambatkan laju mobilnya lalu berhenti di pinggir jalan. 


Khansa keluar dari mobil, lalu langsung saja muntah-muntah. Leon juga ikut keluar dari mobil. Ingin menepuk-nepuk punggung Khansa tapi urung, Leon hanya memberikan sebuah sapu tangan.


"Lain kali, walaupun sedang marah. Jangan mengebut lagi ok! Aku tidak menyukainya;" ucap Khansa. 


"Aku tidak bermaksud mengebut, hanya sedikit kehilangan kendali diri. Anggap saja tadi aku sedang kambuh," jawab sembarang Leon.

Bantu admin yah kak dengan klik ... biar admin semangat postnya


Klik ini untuk lanjut ke Bab Berikutnya


Bersambung

Novel ini merupakan Novel yang panjang dan mempunyai cerita yang sangat bangus dan seru untuk menemani anda di kala santai.ikuti kisah selanjutnya yah.



Posting Komentar untuk "Gadis Desa Pengantin Penganti Bab 117"